Sunday, February 03, 2008

Ada isukah atau tak ada isu?

Nur, pembantu rumah saya, tak suka tempoyak.

“Di Indon tak ada tempoyak bu. Orang Indon tak makan tempoyak,” katanya.

Indon??? Twangggg!!! Tiba-tiba ada bulb lampu keluar daripada otak saya. Alaaa….yang macam dalam kartun/komik tulah…yang bila ada idea, gambar bulb lampu keluar daripada kepalanya.

“Apa kamu kata tadi Nur? Indon?”

“Ya bu? Mengapa?” Tanyanya balik, kehairanan.

“Kalau sebut Indon tak menghinakah? Perkataan Indon tu bukankah macam menghina orang Indonesia?”

“Tak adalah bu. Kami pun biasa sebut Indon.” Katanya.

“Tapi mengapa sekarang keluar berita orang Indonesia marah bila orang Malaysia sebut Indon? Kata mereka panggilan itu menghina.”

Dia terkebil-kebil sebentar. “Entahlah bu. Tak ada menghina apa pun.” Katanya.

“Tapi kamu tahu tak, orang Indonesia marah sangat pada orang Malaysia sebab panggilan itu. Mereka balas balik, panggil kami ‘Malingsia’.”

Dia ketawa. “Ibu tahu apa makna ‘maling’?”

“Ya saya tahu.” Jawab saya. Maling ertinya pencuri dalam bahasa Indonesia.

“Tak tahulah saya, bu.” Ulangnya lagi.

Nur anak jati Indonesia. Berasal dari Jawa Timur. Belum pernah datang ke Malaysia sebelum bekerja dengan saya sejak setahun lalu. Sebenarnya, sebelum ini pun sudah banyak kali dia menyebut perkataan `Indon’ ketika bercakap fasal negaranya atau mengenai orang senegaranya. Tapi saya selalunya tak ambil pusing.

Kalau anak jati Indonesia memanggil bangsanya dan negaranya sendiri dengan singkatan ‘Indon’, mengapa orang sana ribut-ribut bila orang kita menggunakan perkataan yang sama?

Rasanya sudah banyak sangat isu-isu remeh-temeh yang diperbesar-besarkan mereka. Daripada isu lagu, isu tarian, isu kain batik hinggalah ke isu perkataan ‘Indon’ yang kalau nak ikut kata Nur anak jati Indonesia itu, tak ada apa isu pun sebenarnya! Kalau dilihat melalui media, marah mereka bukan main berapi-api sampai membuat demonstrasi, membakar bendera dan melaung-laungkan slogan basi zaman Pak Sukarno dulu.

Soalnya, mengapa isu yang tak ada isu itu dijadikan isu?

Boleh dikatakan kebanyakan (bukan semua) orang Melayu Malaysia kalau disusur galur keturunannya, ada ‘akar’nya di tanah seberang. Oleh kerana itu, maka sudah tentu sedikit sebanyak ada adat budaya lama yang turut dibawa bersama. Pastilah ada sedikit sebanyak persamaan di segi bahasa, budaya, permainan, pakaian, tarian, lagu dan makanan. Apakah adat budaya itu dengan mudah dapat dibuang sepenuhnya oleh mereka yang berhijrah ke Tanah Melayu suatu waktu dahulu?

Nenek moyang saya sendiri daripada kedua-dua belah pihak berasal dari Tanah Minangkabau di Sumatera (Ranah Minang kata orang sana). Ketika emak saya masih ada dulu, saya biasa mendengar dia (orang Minang Hulu Langat, Selangor) berbual dengan saudara maranya menggunakan bahasa Minang yang pekat (bukan bahasa yang digunakan oleh orang Negeri Sembilan yang masih boleh difahami orang luar).

Abah saya pula yang ayahnya berasal dari Ranah Minang, tidak berbahasa Minang tetapi berbahasa Nogori (Negeri Sembilan) yang menggunakan `esei’ dan ‘ekau’ sebagai ganti diri. Di rumah pula, kedua-dua emak dan abah saya berbahasa Melayu Malaysia (nak kata bahasa baku pun bukan juga). Disebabkan bahasa Minangkabau tidak dibiasakan kepada kami anak-anaknya, maka jadilah kami anak Minangkabau jati yang tidak tahu langsung berbahasa Minang (bagi saya, itu satu kerugian yang amat besar!)

Walaupun begitu, masih ada anak-anak Minang lain di Malaysia ini yang masih boleh berbahasa Minang dan mengamalkan sepenuhnya adat budaya Minangkabau. Di Negeri Sembilan saja ada banyak bangunan bercirikan reka bentuk rumah tradisional Minangkabau seperti di Sumatera, selain makanan, pakaian dan adat budaya yang hampir sama. Selain orang Minangkabau, ada banyak lagi orang Melayu di sini yang nenek moyangnya berasal dari seberang. Umpamanya, orang Jawa, orang Boyan, Orang Bugis, orang Banjar, orang Aceh dan banyak lagi suku kaum yang lain Apakah mereka harus membuang semua adat budaya semata-mata kerana kini mereka orang Malaysia?

Masa kakak saya kahwin, dia enggan memakai pakaian tradisional wanita Minangkabau (yang hiasan kepalanya macam tanduk kerbau tulah!) dan saya nampak emak sangat kecewa. Apabila saya kahwin dua tahun kemudian, saya bersetuju memakainya untuk tidak mengecewakan emak (zaman itu zaman `jahiliyah’ saya. Aurat pun tak tutup lagi!).

Itulah antara contoh masih ada ciri-ciri budaya pembawaan nenek moyang dari seberang yang masih dipegang oleh orang Melayu Malaysia. Apakah itu bermakna orang di sini menciplak budaya orang di sana?

Kalau ada sahabat serumpun yang membaca tulisan saya ini dan rasa tersinggung, saya rasa sedih tapi tak dapat nak meminta maaf kerana saya juga tersinggung bila mana negara tercinta ini dipanggil `negara maling’ semata-mata atas isu yang tak ada isu!

Untuk kemajuan dan pembangunan bersama, ada baiknya jika kita bersama-sama mengenepikan atau melupakan terus isu remeh-temeh yang hanya saling singgung-menyinggung dan nantinya membakar hati masing-masing. Bara yang telah padam, tak usahlah dinyalakan. Perkara yang tiada isu, tak usahlah dijadikan isu.

Perkataan serumpun itu usah hanya menjadi permainan di bibir tetapi sewajarnya ditanamkan seikhlas-ikhlasnya di hati.

Apa pun, jangan bimbang. Saya tak akan dera pembantu rumah saya hanya kerana isu yang tak ada isu :-)

Ini contoh pakaian tradisional wanita Minangkabau. Tetapi si jelita ini bukan saya...hahahaha!

Kaklong berpakaian gadis Minang ketika berusia 7 tahun. Gambar ini diambil di Istana Pagar Ruyung Bukit Tinggi Sumatera ketika kami sekeluarga bercuti di sana.

3 comments:

IKHWANI said...

ya memang kecoh dalam satu e-group tentang penggunaan "indon" ni..saya pun belum tanya bibik saya pasal ni..sama ada dia kisah atau tidak.

mak aji said...

Ada orang kata, semua 'benda kecoh' ini sebenarnya didalangi orang tertentu kerana ada agenda di sebaliknya. Entahlah...tapi yang rugi nanti akhirnya adalah dua bangsa serumpun dan seagama!

batu_nisan said...

Saya, batu_nisan, dari Indonesia
====================
Buat Ibu Yth.
Si Nur itu mungkin benar bahwa ia tidak tahu soal tempoyak, indo* dan indonesia.

Si Nur mau bekerja sebagai pembantu di rumah Ibu, jauh meninggalkan kampung, karena ia sulit mendapat lapangan kerja. Mengapa? Salah satunya adalah karena pendidikan. Kalau pendidikannya tinggi dan bagus, tak mungkin ia jadi pembantu di negeri orang.

Indonesia adalah negara yang besar dalam bentuk wilayah,keragaman budaya dan adat istiadat, si Nur berasal dari Jawa Timur, dengan tingkat ekonomi dan pendidikannya itu, belum tentu dia kenal dengan saudara-saudaranya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua ataupun Sunda (Jawa Barat). Maka bisa dimaklumi jika ia tidak tahu bahwa tempoyak merupakan makanan khas di Sumatera (bukan hanya di Sumatera Barat tempat leluhur Ibu berasal, tapi juga bisa ditemui di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung). Bahkan mungkin ia tidak bisa membedakan antara Sate Padang dengan Sate Madura (Jawa Timur). Tanyalah si Nur, selama hidupnya di Indonesia, kemana sajakah ia pernah pergi ke luar kampungnya, berapa banyakkah ia bergaul dengan saudara-saudara lain suku di Indonesia?

Si Nur, dengan tingkat pendidikannya itu, tentu tidak mau ambil pusing dengan sebutan indo*. Persoalan itu terlalu berat bagi dirinya. Selama ia bisa bekerja dan menyenangkan hati tuannya, ia akan memilih posisi yang aman. Ini dibuktikan dengan banyak ia berkata tidak tahu. Selain itu, si Nur juga orang Jawa, mereka tidak suka berterus terang tentang apa perasaan dan isi hati mereka.

Sebagai orang perantau tentu saja dia coba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya, bila dia diajar menggunakan kata indo* oleh masyarakat sekitar maka ia yang pendidikannya sederhana itu akan menyesuaikan.

Jika Ibu ingin membuat penilaian yang utuh dan bulat, cobalah bertanya pada banyak orang Indonesia, bukan hanya seorang, carilah yang pendidikan dan pengetahuannya lebih luas, tanyalah dari suku-suku yang lain, tanyalah pada mereka yang menjadi pembantu, buruh, pelajar, profesional atau pelancong, yang terikat dan yang bebas merdeka. Setuju ya Bu?

Jika Ibu sadar akan adat istiadat maka lestarikanlah, tapi hendaknya kacang jangan lupa pada kulit. Minangkabau itu bijinya di Sumatera, bukan di Semenanjung. Rendang asalnya dari Sumatera Barat - Indonesia, bukan Negeri Sembilan. Silahkan dilestarikan, tapi riwayat jangan dipatah-belokkan ke Semenanjung.

Terima kasih atas sikap baik Ibu kepada saudara kami yang bekerja di rumah Ibu.

SALAM
Kami orang Indonesia.